Jumat, 15 Agustus 2008

Don't angry

Puasa melatih Muslim mengendalikan emosinya, termasuk amarah. Sederet 'daftar rugi' amarah berikut barangkali layak dijadikan rem saat 'asap' mulai keluar dari kepala! Menurut survey terbaru, pria 'berkepala panas' mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami stroke. Hal yang sama juga bisa terjadi para perempuan. Hanya saja, seperti ditulis di The American Heart Association Journal Circulation, persentasenya tidak separah yang terjadi pada pria.
Studi itu juga menunjukkan, pria yang biasa marah secara ekspres mempunyai risiko 10 persen lebih tinggi terkena stroke ketimbang mereka yang 'pikir-pikir' dulu sebelum menyemprotkan amarah. Marah, menurut Dr. Elaine Eaker, pimpinan peneliti dan presiden Eaker Epidemiology Enterprises, membantu percepatan pembentukan atrial fibrillation yang berpengaruh pada percepatan denyut jantung. Atrial fibrillation dapat memicu timbulnya stroke karena dua ruang dalam jantung menjadi kewalahan memompa darah keluar. ''Bila tidak ditangani, maka stroke (pendarahan dalam otak) menjadi hal yang tak terelakkan,'' ujarnya.
Studinya juga menunjukkan, orang yang gampang marah dan penuh kebencian terhadap orang lain 30 persen berisiko ketidakteraturan irama jantung. Untuk yang ini, bukan hal baru, karena Dr. John Osborne, kardiolog di Baylor University Medical Centre di Grapevine, Texas, juga pernah melakukan studi tersebut. Saat itu, ia meneliti kaitan antara ketidakstabilan emosi, tekanan darah tinggi, kolesterol, dan umur dengan ketidakteraturan denyut jantung.
Studi Eaker melibatkan tak kurang 3.000 orang beragam usia di Framingham, Massachusetts. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian yang pertama kali digagas tahun 1948 ini. Responden sebanyak 1.769 pria dan 1.913 wanita ini diseleksi dengan parameter antara lain dalam 10 tahun terakhir menjelang penelitian tidak menunjukkan indikasi sakit jantung.
Marah yang merupakan manifestasi dari emosi negatif juga pernah dikupas jurnal ilmiah popular, Newscientist. Richard Davidson, pimpinan riset di University of Wisconsin, Madison, Amerika Serikat, menemukan bukti, aktivitas otak yang berkaitan dengan emosi negatif akan memperlemah respon imun tubuh melawan kuman yang masuk ke dalam tubuh pertama kali.
Temuan ini memang tidak begitu mengejutkan. Penelitian sebelumnya pun telah menyebut, emosi dan stress berefek pada system imunitas tubuh. ''Yang membedakan, mereka tidak melihat aktivitas otak prefrontal cortex (PFC) dan kaitannya dengan depresi,'' ujar Davidson.
Orang dengan aktivitas terbesar di PFC kanan saat diwawancara dalam jangka waktu lama mengenai episode paling menyebalkan dalam hidupnya menunjukkan penurunan tingkat antibodi setelah sebelumnya disuntik vaksin influenza. Sebaliknya, terlihat aktivitas yang harmoni dalam PFC kiri saat ia diminta menceritakan kejadian membahagiakan dalam hidupnya. Dan ajaib, tingkat antibodi dalam tubuhnya pun mengalami peningkatan.
Berdasarkan penelitiannya itu, Davidson menyatakan emosi sangat berperan dalam sistem regulasi tubuh yang berpengaruh bagi kesehatan. ''Penelitian membuktikan, orang dengan aktivitas otak yang berkaitan dengan emosi positif menunjukkan respon terbaik terhadap vaksin flu,'' tambahnya.
Janice Kiecolt-Glaser, pakar kajian stress dan imunitas dari Ohio State University mengakui temuan Davidson. ''Memang begitulah adanya,'' ujarnya, seperti diungkapkannya pada koran New York Times.
Menurut Dr. Shahid Athar, Presiden Islamic Medical Association of North America, rasa marah merupakan hal alami. Namun, amarah akan menjadi masalah jika diekspresikan secara salah. Rasa marah menyebabkan seseorang tak stabil dalam berpikir, mengabaikan pertimbangan logis, dan seringkali berujung pada depresi serta melakukan tindakan yang seringkali keliru, bahkan membahayakan.
Secara fisik maupun verbal orang yang dikuasai oleh rasa marah akan melakukan hal buruk. Ia bisa menyakiti - baik fisik maupun psikis - orang lain. Bisa juga, selama fase kemarahan itu seseorang bisa saja mengungkapkannya dengan menyakiti dirinya sendiri, bahkan sampai bunuh diri.
Tatkala rasa marah merasuki diri sekelompok orang, memungkinkan mereka melakukan tindakan yang efek merusaknya lebih besar lagi. Ini kemudian termanifestasikan dalam perilaku yang menyerang kelompok orang yang memiliki keyakinan dan kebangsaan yang berbeda dengan dirinya.
Shahid menyatakan bahwa ada sejumlah bahan kimia maupun hormon yang kerap digunakan dan memberikan efek pada mood dan perilaku seseorang. Sebut saja hypoglycemia dan hyperthyroidism yang mampu mengendalikan rasa marah. Bahkan ada orang yang menyatakan agar keseimbangan hormon selalu dijaga demi perkembangan kondisi spiritual.
Sebenarnya, kata Shahid, dalam ajaran Islam rasa marah ini juga telah menjadi titik perhatian sejak lama. Bahkan Nabi Muhammad SAW diutus ke tengah umat manusia untuk mengajarkan moral yang baik dan secara terus menerus Nabi Muhammad pun menyatakan pentingnya mengendalikan emosi dalam diri.
''Saat ada seorang sahabat yang meminta Nabi Muhammad untuk memberikan nasihat kepadanya agar ia mendapatkan kehidupan yang baik baik di dunia maupun akhirat. Sang Nabi lalu memberikan nasihat agar sahabat tersebut jangan memperturutkan rasa marah,'' kata Shahid menyitir bunyi sebuah hadis.
Di kala lain, Nabi Muhammad juga mengajukan pertanyaan kepada para sahabatnya. Para sahabat nabi itu ditanya siapakah yang paling kuat di dunia ini. Mereka menjawab bahwa orang yang paling kuat adalah mereka yang selalu menang dalam berbagai pertarungan. Namun Nabi Muhammad menyanggahnya, orang yang kuat adalah mereka yang mampu mengendalikan diri pada saat ia marah.'
Dengan demikian, manusia perlu membedakan antara marah yang merupakan respons terhadap sesuatu yang salah dan kemarahan yang tidak produktif dan menimbulkan kerusakan. Shahid pun kemudian menceritakan kisah sahabat Nabi, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, r.a yang bertarung dengan salah seorang kaum musyrik. Dalam pertarungan yang adil itu ia mampu mengatasi lawannya.
Ia kala itu bisa saja dengan mudah membunuhnya namun tiba-tiba musuhnya itu meludah ke mukanya. Sayyidina Ali kemudian segera meninggalkan orang yang telah tak berdaya itu. Dengan rasa heran orang tersebut bergegas menyusul Ali dan bertanya mengapa ia melakukan hal itu. Sayyidina Ali menjawab bahwa ia bertarung karena Tuhan. Pada saat diludahi, ia merasa takut jika ia membunuh orang musyrik itu karena dendam pribadi. Dengan sikapnya yang mampu mengendalikan emosi ini, orang musryik tersebut akhirnya mengikrarkan diri sebagai seorang Muslim.
Pada saat marah, jelas Shahid, detak jantung dan tekanan darah seseorang akan meningkat. Ini merupakan efek langsung dari adrenalin yang begitu eksesif dalam sistem tubuh manusia. Kekuatan fisik orang tersebut akan meningkat sedangkan kekuatan spiritualnya akan mengalami penurunan. Di sisi lain, intelektualitas dan kekuatan berpikir tak muncul.
Seseorang yang tak mengendalikan atau mengarahkan kembali ekspresi kemarahannya, akan 'memelihara' ketidakteraturan sistem tubuhnya. Marah yang tadinya adalah 'sakit' psikis akan merembet ke fisik.
Nabi Muhammad SAW suatu waktu memberikan nasihat kepada seorang suami yang sedang marah kepada istrinya untuk memasukan air ke dalam mulut dan tak memuntahkannya. ''Ini dimaksudkan untuk mengalihkan rasa marah kepada istrinya,'' kata Shahid, kembali mengutip sebuah hadis. Beberapa bulan kemudian suami tersebut melaporkan kepada Nabi Muhammad bahwa nasihatnya berjalan dengan baik.
Nabi juga pernah memberikan cara lain untuk mengatasi rasa marah. Jika seseorang marah maka dianjurkan untuk duduk atau rebahan. Sebuah hadis qudsi menyatakan bahwa Allah SWT memerintah seseorang untuk mengingat-Nya ketika ia sedang dalam keadaan marah. Dengan demikian, mengingat Allah akan menjadi obat yang mujarab bagi rasa marah yang begitu besar

Tidak ada komentar: